Expert's Corner

Aulia Rahmani: Menjadi Digital Product Designer Tak Hanya Perihal Design

Published on
Min read
10 min read
time-icon
Aulia Rahmani

Product Designer | E-commerce | Fintech | B2B

Header_Aulia_Product_Digital.png

Menekuni suatu bidang tentu memerlukan usaha, konsistensi, dan kesempatan. Pasalnya, tiga hal tersebut berpengaruh dalam pencapaian kariermu. Nah, di artikel Career Experts kali ini ada Aulia Rahmani, digital product designer di tech company, yang akan membagikan cerita perjalanan kariernya sebagai seorang designer. Oh ya, Aulia juga aktif di blognya, lho! Kamu juga bisa mengaksesnya di sini. Bagi kamu yang tertarik bekerja atau ingin menekuni bidang design, simak artikel di bawah ini, yuk!

Kisah perjalanan karier Aulia Rahmani

Hai, saya Aulia Rahmani. Saat ini bekerja sebagai seorang digital product designer di perusahaan teknologi. Saya sudah men-design produk digital sejak 2013 dan banyak belajar tentang user experience serta product development. Melalui artikel ini, saya akan memberikan beberapa tips untuk berkarier sebagai product designer, dilengkapi dengan sedikit perjalanan karier saya.

Tiap product designer itu unik

Apa yang kamu harapkan dari seseorang yang sudah men-design digital product selama hampir 10 tahun? Pasti akan ada berbagai ekspektasi dari teman-teman yang membaca profil saya, baik yang sudah mengenal saya, pernah bertemu, maupun yang sama sekali belum pernah bertemu.

Ekspektasi ini sebenarnya terbentuk dari perjalanan karier saya sebagai seorang product designer atau juga dari artikel yang saya tulis dan persona saya di media sosial. Saya sendiri percaya tiap orang yang mengisi sebuah job role itu unik. Jadi, tiap product designer itu unik. Walaupun berada di role atau penamaan yang sama, yang memberi nyawa di role itu tentu orang yang berbeda-beda, ‘kan.

Saya dengan product designer lain bisa jadi berbeda karakter dan hal yang dikerjakan sehari-hari, tetapi karena tiap orang sudah punya ekspektasi tentang seorang product designer, kadang lupa soal perbedaan ini. Dalam artikel ini, saya akan mencoba menggambarkan sedikit perjalanan karier saya dan seperti apa seorang Aulia saat menggunakan “topi”-nya sebagai seorang product designer.


Temukan kelebihan dan kekuatanmu, maksimalkan hal itu. (Illustrated by Aulia Rahmani)

Di 2013, saya mulai terjun ke tech sebagai front end web developer. Enggak punya tech background sama sekali, kuliah juga ambil jurusan Ilmu Komunikasi. Dari sinilah awal saya mulai bertumbuh alias growing. Belajar coding sebenarnya sudah sejak SMP, tetapi, ya, enggak jago-jago banget. Setelah jadi front end selama setahun, pada tahun itu lebih banyak dapat job yang full stack; coding iya, design iya, dan lebih banyak mengerjakan website.

Di kerjaan full stack ini, saya justru merasa kalau seharusnya ada, nih, yang bisa memperkuat kelebihan saya tetapi lebih spesifik kerjaannya. Akhirnya, mulai mencari kerjaan yang lebih spesifik role-nya dan mulai refleksi ke diri juga, apa, sih, kekuatan saya sebenarnya. Makanya saya pernah menulis artikel berjudul, “Temukan Superpower-mu untuk jadi UX Designer”, yang berdasarkan pengalaman pribadi.

Sampai akhirnya di 2015 resmi switch ke UX design karena memang pengin spesifik men-design suatu digital product. Career switch atau masuk ke dunia tech tanpa punya latar pendidikan dari IT atau tech itu jelas possible, tetapi berdasarkan pengalaman pribadi… cukup susah. Keep going alias lanjut terus kalau memang kamu menginginkan itu. Tetapi perlu diingat, enggak ada yang instan, ya. Pasti harus usaha ekstra.


Formula untuk terus bertumbuh. (Illustrated by Aulia Rahmani)

Tetapi jangan lupa, growing atau bertumbuh untuk berkarier itu enggak cuma karena usaha kita, tetapi juga karena adanya kesempatan. Setelah 2015 memutuskan fokus di UX design, kesempatan demi kesempatan pun datang. Kesempatan ini enggak cuma soal “keterima” kerja saja, lho! Tetapi juga soal kenalan alias networking yang mampu membuka ke berbagai kesempatan lainnya.

Jadi, ini salah satu kunci dan bagian dari usaha juga, harus menemukan orang-orang yang bisa membantu untuk berkarier dan belajar. Mungkin sekarang sudah lebih banyak wadahnya, ada figur-figur senior designer yang sangat baik untuk open mentoring, untuk kenalan dengan mereka juga hanya one click away melalui media sosial. Selain usaha, jangan malu juga untuk reach out, ya! Penting banget, nih. Untuk bertumbuh, ingat selalu kalau formulanya adalah usaha + konsistensi + kesempatan.

Temukan superpower-mu!

Awal berkarier di digital agency, saat itu lebih banyak mengerjakan design untuk WordPress-based website dan landing page. Lumayan niche dan men-define spesialisasi saya sebagai designer. Jadi, kalau ada yang nyari “Ada yang bisa men-design pakai WordPress, enggak?” pasti ujung-ujungnya menghubungi saya. Kalau mau look back, sebenarnya enggak cuma product saja yang harus punya unique selling point. Sebagai product designer khususnya, kita juga harus punya unique selling point. Apa, sih, kelebihan kamu yang niche dan “menjual”. Mungkin kalau saat itu enggak punya sesuatu yang spesial dan menjual, saya juga bakal tergerus zaman. Talent yang bagus makin banyak, di antara banyaknya talent ini memang harus pintar menemukan USP di diri kita.


Setiap designer punya unique selling point, hal yang bisa membuat menonjol.

Sebenarnya, hal yang saya sukai dan membuat saya bertahan sebagai product designer adalah kesempatan untuk mempelajari seluk beluk berbagai industri. Di agency harus banyak berhubungan sama KOL (Key Opinion Leader, social media influencer juga masuk ke kategori ini), waktu itu jadi banyak banget belajar soal marketing, copywriting, dan content creating. Lanjut kerja di e-commerce, dari sini belajar banyak banget soal seluk beluk e-commerce dan lingo (bahasa) yang digunakan di industri e-commerce.

Lain lagi dengan fintech dan B2B. Terakhir malah nyemplung ke game industry sekarang. A whole new world! Bahkan workflow pun beda saat men-design game dengan saat men-design B2B digital product misalnya. Sekarang jadi tahu soal game mechanics, storytelling yang bagus, dan psychology dibalik games yang bikin user-nya addict. Benar-benar jadi tahu lingo dan seluk beluk berbagai industri. Tiap hari rasanya kayak kuliah karena harus belajar hal baru lagi.


Sebenarnya jadi product designer, enggak hanya melihat monitor dan giat kerja di Figma, lho.

Hal lainnya yang saya suka adalah soal metrics. Padahal pas kuliah paling benci statistika yaaa… tetapi justru nyawanya design itu menurut saya di metrics. Bagaimana mau dibilang design kamu bagus kalau enggak ada yang bisa dihitung. Ini challenging banget, tetapi saya suka. Karena design itu bisa diukur, enggak cuma dirasa bagus saja.

Untuk menemukan ukuran yang pas dan iterasi tuh benar-benar suatu pekerjaan yang rewarding bagi saya. Kalau ada yang merasa jadi designer, baik itu product designer, UX, atau specialist di UI dan content designer, terus merasa pekerjaannya enggak rewarding, nah… ini saat yang tepat untuk lebih mengulik soal metrics. Karena menurut pengalaman saya, men-design dengan metrics itu akan berbeda challenge dan tentu saja reward-nya.

Jujur, saya enggak jago-jago banget di visual design. Tools masih bisa belajar lah.. Jadi, ya, apapun tools-nya walaupun enggak jago tetapi bisa dipelajari. Jadi untuk yang merasa enggak jago, enggak usah terlalu dipikirin. Fokus saja sama hal-hal yang jadi spesialisasimu untuk jadi product designer.

Pada akhirnya, men-design suatu digital product tuh bukan cuma soal looks. Banyak banget komponen-komponen di dalamnya. Ya, interface-nya, experience saat menggunakan, content yang akan dibaca dan lihat user, interaksi, dan lain sebagainya. Dan jelas, enggak semua orang bisa jago di semua komponen tersebut. Jadi tenang saja, terus lanjut belajar hal yang kamu kuasai dan tambahkan belajar hal-hal yang memperkuat kelebihanmu.

Ingin mulai jadi product designer atau jadi UI/UX designer?

Portofolio itu penting, tetapi memang bukan hal yang mudah untuk dibuat atau didokumentasikan. Ada beberapa tips dari saya untuk portofolio bagi seorang product designer.

1. Rancang portofoliomu

Banyak banget framework dan teori di luaran yang memudahkan seorang product designer untuk men-design. Kenapa enggak pakai framework dan teori ini untuk men-design atau merancang portofolio kita? Product akhirnya adalah portofolio. Sebelumnya, saya akan bikin beberapa coret-coretan, mind map, bahkan wireframe sebelum jadi 1 study case dan bagaimana untuk menampilkan seluruh study case yang saya miliki. Dengan ini, kamu akan lebih terarah. Karena enggak mungkin kelar dalam waktu singkat, kamu juga bisa membagi tasks yang harus kamu kerjakan sampai ke final portofolio.


Bikin rancangannya dahulu sebelum crafting portfolio.

2. Metrics

Balik lagi ke point yang sudah saya sebutkan, design itu harus bisa diukur. Jadi, penting banget di portofolio seorang product designer harus ada ukuran. Contohnya, dari tombol promo yang semula hanya di-click 5% users jadi di-click 20% users berkat perbaikan design. Atau yang berangkat dari opportunity juga bisa, kesempatan memanfaatkan momentum akhir tahun di mana orang-orang merefleksikan diri, Spotify bikin songs recap dan di share rate-nya sampai 80%. Dari tidak ada ke ada, ini juga harus bisa diukur.

Belum punya kemampuan untuk tracking ukuran-ukuran di atas? Bisa juga dengan A/B testing atau usability testing untuk mengukur adopsi dari design kamu. Saya pribadi enggak masalah dengan study case yang kamu buat personal bukan untuk lingkup pekerjaan, terutama untuk fresh graduate. Asal tetap jelas dan bisa diukur, serta enggak mengada-ada.

3. Sesuaikan industri

Sesuaikan portofolio dengan industri yang kamu apply. Jadi, enggak akan jomplang dan pembahasannya masih satu ranah. Lebih mudah untuk dimengerti kalau memang portofolio ini digunakan saat interview kerja. Pengalaman saya kebanyakan di B2B, saat saya mempresentasikan portofolio ke hiring manager sebuah e-commerce, feedback dari mereka adalah pengalaman saya kurang di e-commerce, sehingga mereka harus menggali lebih dalam lagi.

Bagaimana dengan yang ingin pindah industri? Sepengalaman saya, memang butuh effort lebih. Tetapi, usahakan kamu sudah punya alasan kuat mengapa ingin pindah industri dan balik lagi ke nomor 1, jika kamu bisa memberitahu impact dari pekerjaanmu sebelumnya, jalan akan lebih mulus.

4. Spesifik

Dari pengalaman saya, makin besar lingkup suatu portofolio, makin sulit untuk mengikuti narasinya. Kadang juga konteksnya jadi ke mana-mana. Usahakan portofoliomu spesifik di ranah tertentu misalnya, fitur search, onboarding, dan lain-lain.

5. Enggak harus mengikuti tahapan design thinking

Design thinking itu tertanam di diri setiap designer alias mindset, tetapi bukan berarti semua portofolio kamu jadinya “ngisi” tahapan-tahapan di design thinking, lho! Balik lagi ke poin-poin di atas, enggak penting, kok, untuk bisa memenuhi semua tahapan dari design thinking. Lebih penting adalah impact dari design-mu, proses apa saja yang kamu lalui, dan apa kontribusimu dalam proses pembuatan digital product.

6. Cari role model

Kamu bisa browsing portofolio dari designer lain. Memang biasanya yang bisa published di public itu enggak terlalu detail, tetapi seenggaknya kamu bisa tahu pattern untuk membuat portofolio yang baik. Ingat, pattern, ya, bukan berarti nyontek 100% tetapi tetap pakai motto ATM (Amati-Tiru-Modifikasi).

7. Mudah diakses

Jangan sampai kamu kirim locked file, file dengan ukuran 100 GB ataupun low-res file untuk hiring team. Belum apa-apa sudah di-reject duluan, nih. Pastikan portofoliomu mudah diakses, enteng, dan enggak bikin susah. Contohnya, kamu bisa pakai Figma, Notion, Framer, atau no-code tools lain untuk publish portofoliomu. Bahkan, kamu bisa pakai Google Slides yang shareable.

Banyak cara menuju Roma, portofolio dengan study case memang bukan hal yang mudah untuk dibuat. Layaknya digital product, pembuatan portofoliomu pun harus terus ada iterasi. Jadi, ya, mulai saja sebisamu untuk crafting portofolio. Publish atau apply kerjaan dan gali feedback sebanyak-banyaknya kalau memungkinkan. Terus improve, lama-lama juga akan menemukan formula yang menjual. Kalau enggak mulai, ya, enggak akan nemu-nemu. Teori dan tips itu benar-benar banyak, tetapi ingat… tiap product designer itu unik. Jadi, pasti kamu akan menemukan caramu sendiri.

Portofolio saya bisa diakses public di aulley.com, tetapi banyak banget hal-hal yang sifatnya tidak untuk umum, makanya tidak semua poin dan hasil pekerjaan bisa saya share. Semoga cerita dan tips dari saya seputar berkarier menjadi product designer ini membantu, ya!

Itulah kisah perjalanan karier Aulia Rahmani sebagai digital product designer. Untuk kamu yang ingin berkenalan dengan Aulia Rahmani, kamu bisa langsung mampir dan cek profil LinkedIn-nya di sini.

Selain melalui artikel dari EKRUT Media, kamu juga bisa memperoleh berbagai informasi dan tips menarik seputar karier melalui YouTube EKRUT Official. Tak hanya itu, jika kamu tertarik mendapatkan berbagai kesempatan untuk mengembangkan karier, sign up EKRUT sekarang juga. Hanya di EKRUT, kamu dapat memperoleh berbagai peluang kerja yang dapat disesuaikan dengan minatmu.

0

Tags

Share

Apakah Kamu Sedang Mencari Pekerjaan?

    Already have an account? Login

    Artikel Terkait

    Header-Pro_Kontra_Pengesahan_RUU_KIA_yang_Mengatur_Cuti_Melahirkan_6_Bulan.png

    Expert's Corner

    Pro Kontra Pengesahan RUU KIA yang Mengatur Cuti Melahirkan 6 Bulan

    Fakhrizal Muttaqien

    09 November 2022
    10 min read
    Infographic_Ekspektasi_Atasan_yang_Ideal_beserta_Alasan_yang_Membuat_Karyawan_Resign.png

    Expert's Corner

    Ekspektasi Atasan yang Ideal dan Alasan yang Membuat Karyawan Resign

    Nurina Ulfah

    05 October 2022
    7 min read
    Header_Individual_Contributor_vs_Manager_Kamu_Tipe_yang_Mana.png

    Expert's Corner

    Individual Contributor vs Manager: Kamu Tipe yang Mana?

    Natasya Primatyassari

    30 September 2022
    8 min read

    Video