Belakangan media sosial diramaikan dengan pemberitaan mengenai pengajuan uji materi terhadap UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang dilayangkan RCTI dan iNews TV.
Dalam siaran pers MK diketahui bahwa perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo itu, meminta MK untuk menguji kembali pasal 1 ayat 2 UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang berbunyi,
“Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”
Para pemohon ini berpendapat bahwa layanan Over the Top (OTT) yang ada saat ini, seharusnya masuk ke dalam rezim penyiaran karena melakukan aktivitas penyiaran dalam bentuk suara atau gambar atau keduanya.
Selain itu, OTT juga dianggap tidak diikuti dengan kepastian hukum mengenai regulasinya khususnya kategori video on demand atau streaming.
Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi penyiaran konvensional yang harusnya memiliki kedudukan yang sama dalam UU penyiaran.
Peraturan mengenai layanan OTT sendiri memang baru sekedar Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Menkominfo No 3 tahun 2016.
Dari Surat Edaran itu diketahui bahwa pengertian OTT adalah layanan penyedia bentuk informasi digital dalam bentuk suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (games) atau kombinasi sebagian atau semuanya dalam bentuk streaming atau dapat diunduh melalui internet.
Atas gugatannya ini kemudian menimbulkan debat antara pelaku Content Creator dan pihak RCTI-iNews di internet.
Kenapa terjadi perdebatan antara RCTI-iNews dengan Content Creator?
Terjadi perdebatan antara RCTI dan Content Creator tentang gugatan ini - EKRUT
Menurut M Ramli selaku Dirjen Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI), bila gugatan ini diterima maka media sosial seperti Instagram TV, Facebook Live, YouTube Live, Instagram Live wajib menjadi lembaga penyiaran berizin dan aturan ini juga diberlakukan bagi pengguna dan content creator-nya.
Apabila tidak berizin maka akan dikategorikan ilegal dan masuk ke dalam tindak pidana. Ramli menambahkan aturan ini akan merugikan masyarakat luas, lembaga pendidikan, lembaga negara dan industri kreatif yang menggunakan platform OTT ini.
Hal inilah yang menuai kontroversi dan kritik dari Content Creator karena dirasa akan membatasi ruang gerak dan ide dari Content Creator.
Bertepatan dengan itu, Content Creator Deddy Corbuzier pun mendatangkan langsung dua perwakilan pemohon uji materi ini, yaitu Dini Putri selaku Direktur Program & Akuisisi RCTI beserta Chris Taufik selaku Direktur Legal MNC Media.
Dalam klarifikasi tersebut, pihak RCTI mengatakan bahwa yang ingin diatur adalah lembaga penyedia OTT bukan content creator-nya.
Mereka justru ingin melindungi content creator, supaya jika ada konten yang melanggar maka nantinya KPI yang akan memberikan teguran dahulu ke pihak penyedia OTT.
Hal ini berbeda dengan keadaan sekarang dimana content creator yang melanggar akan menjalani proses hukum, diblokir atau dicabut izin YouTubenya. Padahal bila izin ini ditegakkan maka sebenarnya akan berdampak juga terhadap content creator sendiri.
Sebab bila melihat dari alur peneguran KPI di televisi, ketika program melanggar maka KPI akan memberi surat peringatan pertama kepada stasiun televisinya bukan pada artisnya.
Apabila teguran ini tidak diindahkan maka, KPI bisa menutup acara tersebut dan akhirnya berdampak pada artis tersebut. Begitu pun ini bisa terjadi pada Content Creator.
Baca juga: Resmi 30 April 2020 ini HOOQ tutup layanan di Indonesia
Aturan OTT yang kini ada
Layanan OTT tidak sepenuhnya memiliki aturan hukum yang jelas - EKRUT
Sebenarnya tidak sepenuhnya layanan OTT tidak memiliki aturan hukum yang jelas.
Beberapa hal dalam aturan layanan OTT sempat menjerat content creator ke dalam UU ITE. Pemerintah juga sempat mengatur sedikit tentang kewajiban layanan OTT dan muatan konten yang dilarang dalam OTT melalui Surat Edaran Menkominfo No 3 tahun 2016.
Contoh pasal muatan yang dilarang dalam layanan OTT terdapat pada Pasal 5 poin 5.6 yang isinya:
- Dilarang menyediakan layanan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta mengancam keutuhan NKRI
- Menimbulkan pertentangan antar SARA
- Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, kekerasan, penyalahgunaan narkotika, merendahkan martabat manusia, melanggar kesusilaan, judi, penghinaan, ancaman, pencemaran nama baik, hate speech dan pelanggaran HAKI
- Bertentangan dengan perundang-undangan
Penyedia layanan OTT pun memiliki aturannya tersendiri bagi para content creator yang melanggar. Seperti YouTube dalam pedoman komunitasnya menuliskan:
- Content Creator yang mendapat satu teguran maka tidak bisa memposting apapun termasuk video, live stream, story, thumbnail custom, playlist dan postingan selama seminggu
- Content Creator yang mendapat teguran dua kali maka tidak bisa memposting apapun termasuk video, live stream, story, thumbnail custom, playlist dan postingan selama dua minggu
- Content Creator yang mendapat teguran tiga kali maka channelnya akan ditutup
Baca juga: 6 Cara menjadi videografer pemula yang andal
Gugatan ini menimbulkan banyak pro kontra di masyarakat dan akhirnya menggerakkan sekitar 2.659 orang untuk menandatangani petisi demi menggagalkan gugatan RCTI-iNews di MK.
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu setuju atau tidak dengan gugatan ini?
Sumber:
- creatoracademy.youtube.com
- surat edaran menkominfo
- tirto.id
- mkri.id